Minggu, 12 Mei 2013

CERPEN

Si Kecil Itu..


LANGKAHNYA gontai, sulit untuk ditelusuri jalan berkerikil yang membentang panjang di hadapan. Matanya sayu, pandangannya tak tentu. Air mata datang dan pergi silih berganti menetes, mengiringi jejak-jejaknya yang rapuh. Digendongnya seorang anak perempuan mungkin usianya tak jauh dari setahun, dan seorang  anak lelaki ia biarkan berjalan dalam tapaknya sendiri.

Ibu muda itu berusaha tegar, air mata yang mengalir terus menerus dia coba bendung dengan selendang yang terselampir di bahu. Betapa tak peduli dua anak kecil yang sedari tadi menemaninya, mereka asyik dengan pemandangan semrawut di kanan kiri jalan. Gesekan alas kaki semakin lirih terdengar ketika ujung jalan telah dekat padanya.

Terhenti, diambilnya nafas sepanjang mungkin, sembari terus mencoba tegar. Masih saja wanita itu mengusap-usap matanya yang tak kunjung berubah ke semula. Cepat, kaki itu kembali melangkah pasti kembali, hingga seakan kedua anak itu bukan beban baginya.

Ujung gang pertama, ujung kedua, hingga ujung yang ketiga ia lampaui. Sampailah pada sebuah rumah petak, digenggamnya kunci pembuka gembok. Dengan tangan yang sigap pintu berhasil terbuka dalam hitungan menit. Tiga tubuh itupun menghilang di balik pintu.

Dua, tiga, empat, lima bulan kemudian baru kulihat wanita yang sama kembali menyusuri jalan yang sama pula, namun kali ini berbeda arah. Langkahnya masih gontai, didekap erat anak lelaki yang sama dipeluknya.

Rumah sakit, ya langkahnya tertuju pada sebuah rumah sakit ternama di kota ini. Mungkinkah dia yang sakit, atau mungkin putranya, entahlah. Koridor panjang mereka lalui, hingga terhentilah sepasang kaki itu pada sebuah ruang berpapan nama dokter Indrawan, spesialis syaraf.

Ada apa dengan mereka? Kurasa penyakitnya sangat berat. Terdengar jelas percakapan antara dokter dan pasien. Sepertinya ia sedang berkonsultasi tentang masalah yang serius.
“Jika tidak diambil langkah lebih lanjut akan berakibat fatal, Bu.”
“Tapi saya belum punya duit sebanyak itu, dok,” jawab wanita itu lirih. Nada bicaranya seakan pasrah dengan keadaan pasien.
“Saya dapat membantu, tapi jika berhasil izinkan saya membawa anak ibu setelah sembuh.”

“Apa dok?” tanya wanita itu seakan tak mengerti apa yang dibicarakan sang dokter.
“Anak ibu untuk saya, karena saya tidak punya anak.”
“Oh, ini ternyata maksud kebaikan dokter pada anak saya selama ini,” jawabnya lantang.

Terdengar suara pukulan meja yang begitu keras membelah sunyinya ruang. Tergesah-gesah wanita itu keluar ruangan, digandengnya anak laki-laki yang menemaninya. Wajahnya beku penuh emosi, pandangannya lurus ke arah depan seakan ia tak ingin kembali. Cepat sekali langkah itu pergi, kini hanya sisa-sisa jejaknya yang terlihat masih terbentuk di atas lantai putih.

Sejak siang itu tak ada lagi langkah gontai yang kutemui di ruas jalan ini, pinggiran jalan menjadi kosong. Hingga lima bulan berikutnya pun tak kutemui langkah yang sama dengan pemain yang sama pula.

Wanita itu, sepasang anak laki-laki dan perempuan, mata sayu, langkah gontai, akan kemanakah mereka beranjak pergi dengan siang yang tak bermatahari. Lemas terlihat tubuh anak lelakinya. Ia seakan tak bergerak, terikat kaku pada dekap selendang sang ibu. Sedangkan anak perempuannya itu berlari-lari kecil mengikuti alur langkah ibunya.

Kali ini tak ada langkah gontai yang menyusuri jalan, karena langkah itu terbawa oleh bajaj yang telah siap mengantar. Lenyap lagi ia bersama asap bajaj yang membumbung ke udara dan menjadi satu dengan asap yang lain.

Lagi, lagi, dan lagi kulihat wanita yang sama, tapi kali ini berbeda dari biasa, dia nampak bahagia dengan tingkah anak perempuannya yang mulai belajar menghitung. Disebutnya angka 1, 2, 5 tanpa 3, dan 4. Baru hari ini senyum itu terhias pada wajah ayunya, wajah yang selalu ku lihat tak semangat kini begitu indah merona seperti garis-garis lingkar pelangi, ayunya.

Terlena ku padanya, sampai samarku dengar suara keras dan bergetar dari balik jendela rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh wanita itu berusaha bangkit dari posisinya, ia pergi menuju arah datang suara bersembunyi di balik kaca hitam pembingkai jendela.

Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kenyataan tak dapat kulihat jelas, hanya gurat-gurat tipis dari bias sinar mentarilah yang nyata pada sisi kaca. Dia kembali, sambil memapah anak laki-lakinya. Astaga, kepalanya lebih besar dari yang kulihat terakhir kali, tatapan matanya kosong, kakinya tak dapat menopang tubuh yang kian meninggi itu, tubuh yang dulu kulihat kuat kini tak mengalun sama.

Terjawab sudah ribuan tanya hati ini pada langkah gontai, mata sayu, dan air mata yang menderai. Hati ini meyakini sakitnya bukan yang biasa, bagaimana tak biasa jika ada syaraf-syaraf kaku yang malu-malu tak saling menghubung. Kepala, kaki, mata, menjadi tanda keyakinan ini, keyakinan yang terucap tiba-tiba, ini tumor otak.

Parah sekali penyakitnya. Anak sekecil itu dengan sakit yang seberat ini, dengan derita yang tak henti menghabisi sisa waktu, dengan hidup yang terhempas dari dunianya. Tak ada kata kecil baginya, yang terukir hanyalah anak kecil yang kehilangan masa kecilannya karena penyakit besar tanpa obat penyembuh.

Raut wajahnya begitu tegar, senyumnya terkadang menghias tipis dari lengkung bibir merahnya. Bersama adik perempuannya dia bergurau bersama berebut suapan sang ibu. Ia terduduk pada sebuah kursi plastik yang ia gunakan untuk bersandar, begitu lemas kulihat tubuh itu.

Sudah cukup hari ini kumengerti deritanya. Bocah kecil dengan penyakit yang tak boleh dianggap kecil. Maka izinkanlah mata ini membelah dunia tuk menapaki derita-derita yang baru lagi.

Awan pekat mendampingi pagiku, matahari mulai menyatakan perang pada pagi. Pagi yang biasa ramai kini terlihat lengah, mungkin karena udara yang sedang tak bersahabat. Rumah bercat biru yang terletak di antara dua rumah bernada sama, rumah wanita itu. Hanya di sanalah yang nampak ramai hari ini, ada apa di dalam rumah petak itu?

Langkah kaki yang penasaran ini mencoba mendekat, lebih dekat, dekat, dan semakin dekat semerbak wangi kemenyan menancap di hidung. Bendera kuning terpasang di kedua sisi rumah, lirih doa terpanjat dari orang-orang yang berkerumun. Papan pengumuman bertengger pada pagar-pagar besi, bertuliskan kabar duka cita.

Inalillahi wa inalillahirojiun, anak laki-laki yang tegar itu melenggang meninggalkan dunia. Diantar doa ia pergi ke haribaan yang Maha Kuasa, dijemput sang malaikat menuju alam yang berbeda, meninggalkan wanita bermata sayu, langkah gontai, dan dengan air mata yang tak lagi sanggup menetes.

Aku tertegun menyaksikan betapa indahnya ia pergi. Alam seakan tak rela ia pergi, langit menangis mengucurkan rintik hujannya, angin berhembus lirih berbisik mengabarkan berita duka.

Kringgg... Suara telepon genggamku memecah kesunyian ini. Kubelah tas yang tersampir di pundakku. “Selamat pagi dok, dokter tidak lupa kan dengan jadwal kemoterapi pagi ini?” tanya suster Mia dari balik telepon.

Aku hampir saja melupakan tugasku. Sudah banyak janji yang kubuat dengan pasien-pasienku hari ini. Tak mungkin kuingkari pengabdian ini, dengan melalaikan tugasku sebagai alat mereka.

Hanya tindakan-tindakan saja yang dapat kulakukan, selebihnya Tuhan yang menentukan ceritanya. Cerita yang berbeda untuk setiap umat-Nya, hingga setiap manusia dapat terlihat sederhana dengan kisahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar