CERPEN
Dia Seorang Kekasih
KALAU saja sepuluh tahun yang lalu aku punya keberanian
untuk melamar Nafis, mungkin hari-hariku tidak dipenuhi dengan
penyesalan seperti sekarang ini. Penuh dengan kebosanan dan hambar meski
sekarang bersamaku seorang istri yang cantik dan berbakti, Retno
namanya, serta putra tunggalku yang menggemaskan, baru berumur 4 tahun,
Arsetya Nagari
Beberapa bulan lagi mungkin dia akan memilliki seorang adik. Dokter
mengatakan kemungkinan adalah perempuan. Bagiku laki atau perempuan sama
sajalah seberapapun dokter meramal dengan alat super canggihnya. Ia
tetap merupakan titipan ilahi, yang harus dijaga dan dirawat dengan
kasih sayang, hanya doa yang selalu kupanjatkan sehabis sembahyang
untuk Retno dan putriku akan keselamatanya.
@@@
Pernikahanku dan Retno kini sudah menginjak tahun ke-5, hari-hariku
bersama Retno dilalui dengan kehangatan dan harmonis, karena dia
orangnya pengertian, kalau orang mengatakan, keluarga kami langgeng,
hingga sebelum saat-saat terakhir ini. Menjelang kelahiran putri kami,
calon adik Arsetya.
Sering kurasa ada yang mengganjal di hati, perasaan yang sensitif. Kala
malam aku sering bermimpi bertemu dengan mantan pacarku masa SMA, Nafis,
dengan gaun pengantin yang nampak indah dia di pelaminan bersama
seorang lelaki yang tak kukenal. Dia Nampak begitu anggun namun raut
mukanya murung. Ketika aku hendak mendekatinya dan berusaha mendekatinya
dia lenyap seketika. Disaat itulah aku selalu terbangun, dan begitu
selalu mimpi itu berulang-ulang beberapa malam ini.
@@@
Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 05.00 WIB, segera kubangkit dari
tidurku. Mengambil air wudlu dan salat. Olahraga pagi sebentar, dan
setelahnya belajar mempersiapkan pelajaran untuk hari ini. Sampai 5.45
WIB aku masih punya waktu untuk bersiap-siap berangkat.
Jarak dari rumahku hingga sekolah sekitar 13 kilometer. Dari rumahku
sendiri aku harus berjalan kaki sekitar 15 menit hingga ke pemberhentian
bus antar kota dalam provinsi. Dari kecamatanku bus memerlukah waktu
20-an menit untuk sampai sekolah.
“Udah belajar Sean ?,” tanya Nafis.
Aku gugup,” Eee, Eeem.. Iii, Iyya Fis udah.
“PR Bahasa Inggris, udah kamu kerjain semua, ajarin aku dong Sean? Kamu kan kalau soal Bahasa Inggris paling jago.”
Batin jahilku,” hemmh, ini dia kesempatanku bisa deketin Nafis.”
Meskipun aku juga tahu kalau dia sudah punya pacar. Pacarnya anak
kuliahan di sebuah universitas di ibu kota. Kalau saja Nafis belum punya
pacar aku pasti bisa lebih bebas dekat denganya karena kami memang satu
kelas dan tiap hari bertemu.
“Fis, kalau aku boleh tanya kenapa gak kamu minta diajarin sama pacarmu
yang anak kuliahan itu?” sembari duduk di sampingnya aku bertanya.
Sejenak bola matanya yang bening dan hitam kelam, mengintari
dinding-dinding kelas yang sebagian catnya kusam. “Aku udah putus sama
dia Sean.”
“Loh kenapa?,” aku timpali dengan nada sedikit meninggi.
Belum juga pertanyaanku terjawab bel tanda masuk berbunyi dengan nadanya
yang khas dan kalau kupikir malah lebih mirip seperti bunyi penjual
es-krim. Sejak percakapan terakhir kami itu, hubungan kami berlanjut
hingga berpacaran namun backstreet.
@@@
Detak jantungku kurasakan semakin cepat, aku agak grogi di Ujian
Nasional hari pertama. Inilah penentuan hasil kerja keras belajar kami,
setelah beberapa bulan mempersiapkan semuanya dengan bersungguh-sungguh
belajar diiringi dengan doa.
Memang setelah kejadian perkelahian antara temanku Budi dengan seorang
siswa dari sekolah sebelah beberapa bulan lalu, kami semua sadar bahwa
itu semua hanyalah cobaan yang diberikan oleh Tuhan akan kesungguhan
kami dalam menuntut ilmu.
Semua kurasa sudah lengkap tinggal Nafis yang nampaknya belum hadir di
antara kami, segera aku mulai memimpin doa pagi ini sebelum memasuki
ruang ujian tepat di depan papan bertuliskan “HARAP TENANG ADA UJIAN.”
“Sean.. Sean.” dari kejauhan nampak berlari ke arah kami dengan nafas
tersenggal. Tenyata Budi, dia terlambat, tadi aku kurang memperhatikan
jumlah teman yang hadir.
“Ayo Bud, sini gabung kamu udah telat, ini acara doanya udah mau
dimulai” ajakku seraya melambaikan tangan tanda mengajak bergabung.
“Sob ada kabar buruk,” dengan terengah-engah Budi berucap dengan nada
terputus-putus. “Ada apa Bud ?,” tanya salah seorang teman.
“ Anu, Nana.. nnn.. Nafis
“Kenapa dengan Nafis,” tanyaku melebihi kepanikanku menjelang ujian. Aku
sangat khawatir mengigat dirinya yang nampaknya kurang ceria seperti
hari-hari biasanya beberapa minggu terakhir ini. Bahkan sudah jarang
kami berbicara asyik dan pulang bareng seperti biasanya.
Dengan suara yang mulai tidak gagap Budi melanjutkan ucapannya yang
terpotong.“ tadi pagi saat mau berangkat mampir ke rumah Nafis karena
dipesani oleh ibunya dan diititipi surat. Makanya aku telat karena
mampir kantor panitia.”
“Trus ?, tanyaku penasaran”
“Ya, udah gitu aja jadi aku telat deh,” jawab Budi sepele.
“whuuuuu,” teriak teman-teman sekelas sambil menjitaki kepala Budi sekenanya”
Emang Budi orangnya sangat kocak dengan wajah mirip donat yang super
kocaknya pula, tanpa melucu pun ia sudah bisa membuat orang ketawa.
“Bud, serius jangan becanda, ini sebentar lagi udah mau ujian” gimana
keadaan Nafis sampai sekarang belum datang?” tak sabar aku menunggu
jawaban Budi.
“Sebenarnya aku kurang tahu Sean, aku hanya dititipi surat ibunya Nafis
dan kusampaikan pada panitia ujian. Tapi yang kulihat di rumah nafis
banyak kerabatnya yang berkumpul di sana. Aku tahu karena rumahku kan
dekat. Tadi Ibunya juga mengatakan mohon didoakan saja semoga dia bisa
segera kembali ke sekolah.”
@@@@
Hingga Ujian hari terakhir masih juga belum ada berita tentang Nafis.
Rasa khawatirku mulai tak tertahankan. Sepulang sekolah aku langsung
mengajak Rita, sahabat dekatnya untuk menyambangi rumahnya.
Terlepas dari itu semua sebenarnya aku sangat merindukan masa-masa
pacaran kami, mirip seperti pacarannya orang culun. Disaat masih sekelas
kami sering beradu pandang di dalam kelas hingga beberapa lama, hal itu
mudah kami lakukan karena tempat dudukku tepat di sebelah kirinya
sederet di urutan bangku nomor 3 dari depan dan hanya terbatasi satu
orang, yaitu di sebelah kiriku sebangku denganku Budi. Aku tidak memilih
tepat duduk di sampingnya agar nampak tidak begitu mencolok di kelas.
Dari sekolah sampai rumah Nafis, perlu waktu 45 menit setelah ganti
kendaraan umum dua kali. Dan masih jalan kaki lagi sekitar 15 menit.
Jika dibandingkan denganku maka Nafis lebih lama butuh waktu untuk ke
sekolah, yaitu tepat satu jam, namun herannya dia selalu datang tepat
waktu.
“Sean, kalo di rumahnya tidak ada orang lagi gimana? Soalnya akupun
kemarin setelah ujian pertama selesai sempat mau jenguk, gak ada
seorangpun. Malah tetangganya yang nemuin.” Rita mencoba menanyaiku
setengah menyelidik.
“Yah , akan aku cari info sampai tahu Nafis di mana.”
“Kok kamu peduli banget sama Nafis sih?, tanyanya lagi”
“Dia kan teman sekelas kita, jawabku singkat.”
Perjalanan kami di siang terik ini terasa semakin panjang karena panas
dan kering debu ditengah-tengah siang ini. Terlebih pepohonan di
kanan-kiri jalan yang tidak begitu rimbun. Sesampai di rumahnya langsung
kuketuk pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam. Kucoba lagi hingga
beberapa kali.
Baru aku tahu ternyata ada bel-nya disebelah kiri atas pintu, hehe..
Tanpa komando segera Rita pencet bel-nya. Tinggi badanya memang lebih
tinggi dariku, kalau untuk ukuran cewek yah; sudah pantas jadi model.
Tetap saja tidak ada jawaban dari dalam rumahnya Nafis, meski sudah berkali-kali diketuk dan dibel.
Beberapa saat kemudian seorang tetangganya ibu-ibu ada yang lewat.
“Dik, Pak Sutomo Sekeluarga sudah beberapa hari ini tidak ada dirumah.”
“Lha memang, di mana Pak?” tanya Retno.
“Mereka semua di Rumah Sakit Sudirman di ibu kota, mereka pindah ke
sana. Dengar-dengar sih putri sulungnya, Nafis sedang dioperasi.
“Innalillahi wainnailaihi Rojiun”
Lututku langsung lemas, seakan tersengat listrik 1.000 watt aku
mendengarnya. Benarkah apa yang kudengar ini Fis? Benarkah kamu sedang
dioperasi, sakit apa gerangan yang menyerangmu. Semoga kita bisa
sama-sama lagi di sekolah.
Aku ingin memandang bola matamu yang indah dan bening lebih lama, Karena
aku tahu tiada kebohongan di sana.Tapi besok adalah ujian terakhir.
“ Nafis. Aku sayang sama kamu,” jeritku keras dalam hati”
“Semoga kamu lekas sembuh apapun sakitmu itu.”
@@@
Hari-hariku disekolah selalu dipenuhi dengan kagalauan dan sedih jika
membayangkan Nafis yang sedang berada di suatu ruang bangsal rumah sakit
dengan tangan yang tertancap jarum infus, untuk menggantikan
makanannya.
Tak lupa ku selalu berdoa disela-sela sehabis selesai sembahyang. Di
malam-malam yang dingin kusempatkan bangun malam khusus mendoakan atas
kesembuhannya. Namun tetap saja aku belum punya keberanian untuk
membesuknya, aku tidak akan tega melihat orang yang sangat kusayangi
tergolek lemah dan sakit di depan mataku. Tapi sudah kubulatkan tekadku.
“Besok aku mesti ke Rumah sakit membesuk Nafis, aku nggak mau menyesal
seumur hidupku.”
@@@
“Mas kok ngelamun, awas kesambet loh pagi-pagi gini. Ini udah aku buatin
kopi susu manis kesukaan mas.” Setengah kaget aku menoleh.
Retno memang istri yang sangat pengertian, keibuan dan penyayang
keluarga. Tidak sekalipun ia menunggu untuk diminta suaminya tetapi
selalu mengerti kebiasaan. Tidak pula rumah terbengkalai dan mengantar
sekolah Arsetya meski bagaimanapun sibuknya dia di toko butiknya.
Walaupun kami sebenarnya memiliki seorang pembantu yang sudah sepuh,
namanya Mbok Isah. Sehari –hari ia yang momong Setya saat kami berdua
diluar rumah. Selain itu tugasnya hanya yang ringan - ringan saja, ia
tidak pernah memperlakukannya semena - mena layaknya pembantu. Malah
sering mengajaknya pula makan semeja layaknya keluarga. Itu yang selalu
membuatku terkagum - kagum
Aku sangat beruntung memiliki istri sebaik dirinya, tidak akan sekali-
kalipun aku menyia- nyiakanya. Kami sudah saling mengenal semenjak
Kuliah Kerja Nyata, karena menjadi satu posko dia adalah dari jurusan
desain busana, dan aku dari hukum. Sangat berbeda, namun entah kenapa
hanya butuh waktu yang tidak lama hingga akhirnya kami akrab dan pacaran
sebentar, lalu 6 bulan kemudian kami memutuskan untuk segera mengakhiri
masa pacaran dan mengikat komitmen menuju pernikahan, bersamaan setelah
acara pelepasan wisudawan aku melamarnya.
Begitu cerita cinta singkatku dengan Retno. Yang mungkin karena
digariskan berjodoh oleh Tuhan. Selang satu tahun lahirlah putera
pertama kami, Arsetya.
@@@
“Oiya mas, pagi ini katanya ada janjian dengan klien ya, yang minggu lalu nelpon ke nomor rumah?”
“Aduuh, aku bener- bener kelupaan dek, makasih udah ngigetin. Kamu masih
ingat nama klien itu, soalnya kamu kan yang nerima telponnya? ”
“Dia nggak mau menyebutkan nama terangnya mas, hanya bilang hamba Allah
gitu saja. Soalnya akta tanah yang akan dia urus ini katanya ada
hubunganya dengan wakaf yang akan dia lakukan.”
Mobil Honda Jazz warna silver-ku di garasi segera aku panaskan sebentar
dan kutinggalkan mandi. Sedangkan Retno manyiapkan segala surat-surat
dan kelengkapan yang aku perlukan untuk ke kantor. Padahal aku tahu
kalau dia sama sekali tidak begitu menahu tentang masalah kenotarisan.
Tapi itulah kelebihannya dia, yang selalu serba bisa. Menjadi
sekertarisku sekalipun.
Selesai mandi dan semua persiapan selesai aku segera mengambil tas yang
sudah disiapkannya diatas meja. “Tadi aku udah nelpon dik Prasetyo,
resepsionis di kantor, kupesani kliennya mas menunggu kalau-kalau
terlambat sampai kantor.”
Kukecup kening Retno sebelum berangkat, dan tak lupa memeluk Setya. Segera aku jalankan mobilku melaju menuju kantor notarisku.
@@@
Kantorku memang tidak pernah sepi karena satu-satunya di kota kecil ini,
banyak orang yang selalu memakai jasa kami untuk membuatkan surat resmi
berdasarkan hukum yang sah atas kepemilikan tanahnya. Sederhananya
adalah akta atau sertifikat tanah. Di kota kecil ini kantor sejenis ini
masih awam. “Kali ini pasti ia orang kaya dermawan yang akan mewakafkan
tanahnya untuk kemaslahatan masyarakat,” pikirku.
@@@
Mobilku sudah sampai tepat di depan kantor, segera kutempatkan pada parkiran.
Ternyata si klien belum sampai di kantor, sepertinya dia yang agak
sedikit terlambat. Segera kubergegas menuju ruang kantorku. Baru ada
Pras dan beberapa pegawai serta cleaning service. Kantorku
memang sederhana. Aku hanya mempekerjakan beberapa pegawai saja termasuk
Prasetyo yang kurekrut. Dia adalah adik angkatanku sewaktu di kampus
yang rajin dan cerdas.
Deru suara mobil yang cukup halus kudengar berhenti di parkiran depan.
Suaranya terdengar sampai di ruanganku, keadaan kantor yang pagi itu
sepi.
Telpon berdering, terdengar suara dari seberang, ternyata dari Pras di lobi.
“Pak klien bapak sudah datang.”
“Suruh langsung masuk saja Pras, bilang sudah aku tunggu”
“Iyya Pak”
Kututup telepon. Beberapa saat kemudian terdengar pintu diketuk.
“Silahkan masuk !” aku masih memeriksa beberapa berkas penting. Seorang
wanita dalam balutan gamis muslimah berenda warna-warni, dengan jilbab
warna cokelat muda, masuk dan berucap salam kepadaku.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam ”
Aku terperangah melihatnya. Sangat tidak asing sekali wajahnya. Dia sama
terkejutnya saat melihat wajahku, seulas senyuman menyungging di
wajahnya.
Kami saling bertatapan beberapa saat.
“Nafis…”
(Setetes bening kembali menetes di pipiku untuknya, kali ini tetes haru bercampur bahagia; dan perasaan yang bercampur aduk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar